Charles de Montesquieu, Alasan Pemisahan Trias Politika (II)
Oleh: Isma Farikha Latifatul Nuzulia*)
Pemikiran-Pemikiran yang Dihasilkan Montesquieu
1.
Trias
Politica
a.
Sejarah
Awal Trias Politica
Pada
masa lalu, bumi dihuni masyarakat pemburu primitif yang biasanya mengidentifikasi
diri sebagai suku. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang kepala suku yang biasanya
didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan fisik atau nonfisik yang
dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara yang ada di suku tersebut.
Pada perkembangannya, suku-suku kemudian memiliki sebuah dewan yang diisi oleh
para tetua masyarakat. Contoh dari dewan ini yang paling kentara adalah pada
dewan-dewan Kota Athena (Yunani). Dewan ini sudah menampakkan 3 kekuasaan Trias
Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Di masa Romawi
Kuno, sudah ada perwakilan daerah yang disebut Senat, lembaga yang mewakili
aspirasi daerah-daerah. Kesamaan dengan Indonesia sekarang adalah Dewan Perwakilan
Daerah (DPD).
Namun,
keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di tingkat dewan kota tersebut
mengalami pasang surut. Tantangan yang terbesar adalah persaingan dengan
kekuasaan monarki atau tirani. Monarki atau Tirani adalah kekuasaan absolut
yang berada di tangan satu orang raja. Tidak ada kekuasaan yang terpisah pada
keduanya. Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000 – 1500 M), kekuasaan
politik menjadi persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan
kaum bangsawan. Kala itu kerap kali Eropa dilanda perang saudara akibat
sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini.
Sebagai
koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul
semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat
politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti John
Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual
Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan
harus diberlakukan.
b.
Pengertian
Trias Politica
Trias
Politika berasal dari bahasa Yunani (Tri=tiga; As=poros/pusat;
Politika=kekuasaan) yang merupakan salah satu pilar demokrasi, prinsip trias
politika membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan
legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas
(independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain.
Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar
ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan
prinsip checks and balances.
Konsep
dasarnya adalah kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu
struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara
yang berbeda. Lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah
yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan
eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan
judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang
memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini,
keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja
dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang
memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan
peraturan. Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, akan terjamin kebebasan
pembuatan undang-undang oleh parlemen, pelaksanaan undang-undang oleh lembaga
peradilan, dan pelaksanaan pekerjaan negara sehari-hari oleh pemerintah.
Dalam
bukunya tersebut, dijelaskan bahwa Trias Politika merupakan teori yang
mengindikasikan adanya pemisahan kekuasaan secara mutlak dalam pemerintahan
untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan dalam pemerintah sehingga hak
masyarakat dapat terjamin. Kelly (2011) menyebutkan pula bahwa di antara ketiga
lembaga yang memiliki kekuasaan yang berbeda harus ada saling melakukan check
and balances, sehingga tidak ada satu lembaga yang memiliki kekuasaan yang
lebih tinggi dari pada lembaga yang lain. Pembagian kekuasaan yang disebutkan
Montesquieu antara lain:
-
Lembaga
legislatif, yang terdiri dari orang-orang tertentu yang dipilih untuk membuat
undang-undang, sebagai refleksi dari kedaulatan rakyat, mediator dan
komunikator di antara rakyat dan penguasa, dan agretor aspirasi,
-
Lembaga
eksekutif, yakni raja atau di era modern dikenal sebagai presiden yang
menjalankan undang-undang, dan
-
Lembaga
yudikatif, yakni lembaga peradilan yang bertugas untuk menegakkan keadilan.
Asumsi dasar
yang menjadi penopang lahirnya ide separation of power adalah adanya pemikiran
mengenai bahwa kebebasan akan hilang ketika orang yang sama berada dalam satu
badan pemerintahan/kerajaan atau satu orang menjalankan tiga kekuasaan dan
pemikiran bahwa pelaksanaan lembaga eksekutif dan legislatif yang sama pada
satu orang atau satu badan akan mengurangi kebebasan. Oleh karenanya, lahirlah
pemikiran mengenai Trias Politika yang berimplikasi pada:
-
Terjaminnya
kebebasan politik bagi rakyat,
Mendeklarasikan
kekuatan ilihayah bangsawan dan raja meskipun tetap diakuinya hak istimewa para
bangsawan lewat kabinet dua kamar yang saling mengontrol dan mengawasi check
and balance, dan yang tidak dapat ditemui dalam aliran filsafat lainnya
-
Metode terbaik
menghindari penyimpangan otoritas.
Dalam
pemikiran Montesquieu ini, tidak ada lembaga federatif yang menjalankan
hubungan diplomatik dengan negara lain seperti yang diungkapkan Locke
sebelumnya. Pasalnya, fungsi lembaga federatif sudah termasuk dalam fungsi
lembaga eksekutif. Teori yang diungkapkan Montesquieu ini juga merupakan bentuk
penyempurnaan dari teori pemisahan kekuasaan yang sebelumnya telah dijelaskan oleh
John Locke. Trias Politika dianggap lebih menjamin hak kebebasan individual,
sehingga, di era modern, teorinya dipraktikan oleh negara-negara demokrasi yang
menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, seperti Amerika Serikat.
c.
Konsep Trias
Politica
Konsep Trias
Politika merupakan ide pokok dalam Demokrasi Barat, yang mulai berkembang di
Eropa pada abad XVII dan XVIII . Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan
negara terdiri dari tiga macam kekuasaan : pertama, kekuasaan legislatif atau
membuat undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan
undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas
pelanggaran undang-undang.
Trias Politica
menganggap kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang
sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan
demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin. Konsep ini
pertama kali diperkenalkan dibukunya yang berjudul, L’Esprit des Lois (The
Spirit of Laws). Sebelumnya konsep ini telah diperkenalkan oleh John Locke.
Filsuf Inggris mengemukakan konsep tersebut dalam bukunya Two Treatises
on Civil Government (1690), yang ditulisnya sebagai kritik terhadap kekuasaan
absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang
tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh
Parlemen Inggris.
Ide pemisahan
kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, dimaksudkan untuk memelihara kebebasan
politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat
dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa seseorang akan cenderung untuk
mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan
terpusat pada tangannya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan
kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah
adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.
Karya
Montesqiueu ini hampir diterapkan di seluruh Negara di dunia yang menganut
Demokrasi termasuk juga Indonesia. Di Negara Komunis yang hanya mempunya satu
partai cenderung menjauhi konsep Trias Politica terlihat jelas bahwa bentuk
pemerintahan hanya dipegang oleh kalangan partai tunggal, sebut saja China,
Korea Utara dan Uni Soviet (masa perang dingin) adalah sejumlah Negara yang
menjauhi Trias Politica tak heran jika bentuk pemerintahannya bersifat
otoritarian karena tidak adanya pembagian kekuasaan.
Beda dengan
Negara yang mengenakan sistim Trias Politica. Dengan adanya lembaga Legislatif,
kepentingan rakyat dapat terwakili secara baik karma merupakan cermin
kedaulatan rakyat. Selain itu lembaga ini juga mempunyai fungsi sebagai check
and balance terhadap dua lembaga lainnya agar tidak terjadi penyelewengan
kekuasaan dengan begitu jalannya pemerintahan bisa berjalan efektif dan
efisien.
*) Isma Farikha
Latifatul Nuzulia, mahasiswi Program Studi Sastra Inggris FIB Universitas
Brawijaya Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar